amalan membersihkan hati dan jiwa

Jika kita menatap kehidupan manusia sekarang ini, maka hati kita akan pilu. Mereka kebanyakan adalah manusia sipil, tetapi berkarakter militer. Mereka manusia yang sehat secara fisik tetapi ruhaninya sakit. Mereka memproklamirkan dirinya sebagai makhluk modern, tetapi miskin adab dan cenderung primitif.
Merekalah makhluk yang tidak utuh, terbelah jiwanya (split personality), serta tidak pandai menjalani kehidupan ini secara seimbang. Mereka mamandang agama hanya sebatas pencuci dosa, bukan pencegah dari perbuatan yang fahsya’ dan munkar.
Di satu sisi mereka rajin berdoa di masjid, tapi setelah keluar dari masjid mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi dosanya.
Mereka adalah manusia sekuler, menceraikan makhluk dari al-Khaliq. Mereka membuat dikotomi-dikotomi, memisahkan ranah ruhani dan jasmani, ritual dan sosial, akal dan iman, dunia dan akhirat, serta jiwa dan raga.
Allah ta’ala berfirman:
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (Al-Baqarah [2]: 10)
Para mufassir menjelaskan bahwa penyakit yang dimaksud dalam ayat itu adalah keyakinan mereka terhadap kebenaran Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri hati, serta dendam terhadap Nabi Shalallahu alaihi wassalam dan orang-orangIslam.
Agar struktur ruhani dan mata hati seseorang tetap tajam untuk melihat kesejatian, berikut kiat-kiatnya:
1.       Mengubah cara memandang Tuhan, diri sendiri (susunan fisik dan ruhani), misi kehadirannya di dunia, dan alam.
Ini merupakan langkah dasar dalam rangka mentauhidkan-Nya, yaitu mempersembahkan segala bentuk ibadahnya kepada-Nya dan membebaskan diri dari segala bentuk perhambaan kepada selain-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat [51]: 56)

2.       Berinteraksi secara intensif dengan al-Qur’an dan mengahayati maknanya.
Allah ta’ala berfirman:
Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Maidah [5]: 16)
3.       Banyak berzikir ketika berada di keramaian maupun sendirian.
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Setiap hamba pasti membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk menyendiri dalam memanjatkan doa, berzikir, shalat, merenung, berinstropeksi diri, dan memperbaiki hatinya,” (dinukil dari Kaifa Tatahammasu, halaman 13).
Ibnu Taimiyah juga berkata, “Zikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Maka apakah yang akan terjadi apabila seekor ikan telah dipisahkan dari dalam air?” (Lihat al-Wabil ash-Shayyib).
Ada seseorang yang mengadu kepada Hasan al-Bashri, “Aku mengadukan kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka beliau menasehatinya, “Lembutkanlah ia dengan berzikir.”
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan oleh perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan ketekunan berzikir kepada-Nya,” (lihat al-Fawa’id,halaman 95).
Allah ta’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (Al-Ahzab [33]: 41)
Dengan banyak berzikir akan timbul perasaan takut kepada Allah dan berusaha untuk senantiasa menghadirkan-Nya di mana pun kita berada. Dampak selanjutnya akan lahir kesadaran untuk banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah demi menghapus dosa-dosa yang diikuti dengan meninggalkan perbuatan dosa, maksiat, dan penyimpangan.
4.       Mengembara ke akhirat dan mengingat kematian.
Mata hati akan selalu jernih dan tajam ketika selalu diajak mengembara ke alam akhirat dan seakan-akan telah sampai di sana dan merasa seperti telah menjadi penghuninya.
Adapun keberadaannya di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing yang mengambil sekada keperluannya, lalu akan segera kembali lagi ke akhirat sebagai negeri asalnya.
Nabi Shalallahu alaihi wassalam bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau (musafir) yang melewati suatu jalan,” (Riwayat Bukhari).
Hamra al-Qushairi berkata, “Kita semua yakin dengan datangnya maut, namun kita tidak dapat mempersiapkan diri. Kita semua yakin akan surga, namun kita tidak beramal, dan kita semua yakin akan adanya neraka, naum kita tidak merasa takut kepadanya. Maka atas dasar apa kita bersuka ria?”
5.       Rajin melakukan shalat malam
Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda, “Tetaplah kalian melakukan shalat malam. Sebab shalat malam merupakan kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kalian, mendekatkan diri kepada Allah, mencegah dosa, menghapus kejahatan, mengusir penyakit dari adan (Riwayat at-Tirmidzi, al-Hakimdan al-Baihaqi)
6.       Berkumpul dengan orang-orang saleh.
Allah ta’ala memerintahkan kita untuk bergaul dengan orang yang lurus, dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah [9]: 119)
Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam juga bersabda, “Seseorang itu bergantung agama sahabatnya, maka perhatikan kepada siapa ia menjalin pertemanan,” (Riwayat at-Tirmidzi).
Adapun antara ciri orang yang saleh adalah taat dan kontinyu beramal saleh serta selalu berusaha mengikhlaskannya, menyibukkan diri dengan kelemahan dirinya sendiri, tidak sibuk dengan aib orang lain, beramar ma’ruf nahi munkar,memperhatikan umat Islam, dan bersemangat dalam menghadapi permasalahan umat.
7.       Banyak bermuhasabah
Muhasabah ialah menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan.
Nasehat Umar al-Faruq, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk perrtunjukkan yang agung (hari Kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan yang tiada tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”
Muhasabah adalah indikator penting ketaqwaan seseorang. Allah ta’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Hasyr [59]: 18)
Wallahu a’lam bish-shawab.***
Kajian Utama Majalah Suara Hidayatullah (Sahid) edisi April 2012/Jumadil Awwal 1433

sabilurasyad.wordpress.com

Related Posts